23 Apr 2013

South Sulawesi Trip #1

Wah, sudah hampir 1,5 tahun ternyata gak udpdate blog. Didorong permintaan dari teman-teman dan keinginan nulis tentang perjalanan yang dilalui baru-baru ini, baiklah kita mulai menulis lagi. Sebenarnya banyak perjalanan yang terlewat untuk didokumentasikan, mulai dari backpacking Singapura-Malaysia, perjalanan dengan kereta api-kapal ferry-bus ke Lombok, acara nikahan saudara di Balikpapan dan Samarinda, lebaran 2012 di Aceh, perjalanan ke ujung barat Indonesia pulau Weh, konferensi di Bali, perjalanan umrah ke tanah suci, dan terakhir keliling Sulawesi Selatan. Kita mulai dari Sulawesi Selatan, insya Allah kalau ada waktu (dan masih inget) saya akan share tentang perjalanan-perjalanan yang lalu.


15 April
Perjalanan dimulai dengan hujan deras di Bandung. Saya yang berniat pergi ke travel jam 17.00 sampai menunda keberangkatan hingga hujan berhenti. Setelah menyempatkan diri makan di Bakso Semar Cihampelas, saya pun pergi ke pool X-Trans tujuan bandara yang tidak jauh dari sana.

Travel terjadwal untuk berangkat jam 18.30, tapi sampai jam 18.32 teman saya Rendy tidak muncul-muncul juga. Dan di detik-detik keberangkatan akhirnya dia pun datang dengan membawa caping kebanggaannya yang selalu dibawa kemana-mana saat traveling. 18.40 mobil pun berangkat. Oh ya, selain Rendy di perjalanan ini saya juga ditemani teman saya Sandy, partner backpacking Sing-Mal dulu.

Sekitar pukul 21.30, kami sampai di bandara Soekarno-Hatta. Kami pun langsung masuk ke check in counter dan ternyata Rendy yang belum check in harus menunggu sampai jam 23.00 sampai counter dibuka. Kami pun duduk-duduk di ruang pengambilan bagasi di sebelah check in counter.

Pukul 23.00 tiba, lanjut check in dan menunggu di boarding lounge. Namun anehnya boarding lounge yang biasanya ramai, malam itu super sepi. Saya jadi curiga jangan-jangan penumpangnya sedikit. Dan ternyata kecurigaan saya terbukti saat sudah naik pesawat. Dari 189 seat yang tersedia, hanya sekitar 20 seat yang terisi. Penumpang pun jadi bebas pindah-pindah tempat duduk. Bahkan ada bapak-bapak yang ambil 3 kursi sekaligus dan tidur berbaring di sana. Super.

Tiba di Makassar pukul 1 pagi, dan langsung dijemput Ayah saya ke rumah di Makassar. Kabar buruknya ternyata air rumah sedang mati, dan mau gak mau kita harus mandi dan ambil air ke masjid yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah. Mantap. Setelah shalat subuh di Masjid, kami pun melanjutkan tidur yang tertunda.

16 April
Setelah bangun tidur, kami berangkat ke masjid untuk mandi. Ya, untuk mandi. Karena baru jam 10.00, masjid masih sepi dan kami bisa mandi dengan santai. Saat mandi muncul perasaan aneh, ini kenapa kok airnya rasanya licin ya. Saat membilas sabun pun rasanya badan kok masih licin-licin aja, dan ternyata yang lain pun merasakan hal yang sama. Bahkan Ayah saya yang mandi di kantor pun berkata hal yang sama. Airnya memang bikin licin.

Selesai dari mandi yang rasanya-gak-bersih ini, kami memutuskan untuk pergi ke kota dengan mobil dinas Ayah. Perjalanan dimulai dari Fort Rotterdam, benteng Belanda yang memiliki bentuk seperti kura-kura. Dulu Pangeran Diponegoro pernah diasingkan dan dipenjara di benteng ini, sampai kemudian beliau wafat dan dimakamkan di kota Makassar.

Bangunan di dalam Fort Rotterdam


Perjalanan pun berlanjut ke kawasan Trans Studio Mall Makassar. Tidak jauh berbeda dengan Trans Studio yang di Bandung sebenarnya, isinya juga toko-toko kelas atas, namun setidaknya harga masuk ke Trans Studio Theme Park-nya lebih murah, hanya 100 ribu di hari kerja. Setelah itu kami berencana pergi ke Benteng Somba Opu yang tidak jauh dari sana, tapi karena rekomendasi dari foursquare yang kurang mengenakkan tentang Benteng Somba Opu akhirnya kami urung ke sana.

Akhirnya perjalanan pun berlanjut ke daerah Pantai Losari. Ternyata di sana ada bangunan baru yaitu masjid Amirul Mukminin alias masjid terapung. Masjidnya benar-benar terletak di atas laut, dan dikelilingi oleh patung dada pahlawan maupun tokoh masyarakat Makassar. Tapi sayangnya terlalu banyak pungutan liar di daerah masjid dan Pantai Losari ini.
Masjid Terapung

Pantai Losari

Setelah puas foto-foto kami pun lanjut makan es pisang ijo dan es pallu butung di dekat Pantai Losari. Ternyata di dekat sana memang ada kawasan kuliner, mulai dari es pisang ijo, pallu butung (es dengan pisang kepok dan bubur sum-sum), pisang epe (pisang penyet dengan taburan gula merah), makanan olahan laut, bahkan sampai cafe Maicih pun ada di sana. Kaget juga jauh-jauh ke Makassar ketemunya malah Maicih.

Beres makan es kami pun memutuskan untuk pulang. Tempat menginap kami memang terletak di pinggir kota, ya sekitar 13 kilometer-an lah, dekat dengan bandara. Saat makan malam kami diajak oleh teman ayah saya untuk makan di cafe Kota Daeng. Kami pun memilih 1 ikan kakap untuk dimakan bersama, dengan cara bakar Parape. Meskipun pilih 1 ikan, ternyata ikannya memang besar dan berdaging tebal, kami pun makan sampai "hamil muda" kekenyangan. Dan setelah itu kami pulang, mempersiapkan diri untuk berangkat ke Tanjung Bira keeokan harinya.

17 April
Kami berangkat pukul 7 tepat, ditemani oleh teman Ayah saya, Bapak Haji Supu. Jalur yang kami tempuh adalah Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan sampai akhirnya di Tanjung Bira, ujung paling selatan sebelum pulau Selayar. Perjalanan ditempuh dalam waktu 5 jam. Sempat diberhentikan oleh polisi pada perbatasan Bantaeng-Bulukumba akibat ada razia senjata tajam. Ternyata penduduk perbatasan sana memang sedang memanas dan mereka-mereka ini sering membawa senjata tajam. Untungnya ada Pak Supu yang asli orang Sul-Sel, jadi setidaknya kami feel safe dari polisi-polisi ini.

Ketika melewati Bantaeng, pantai sudah mulai terlihat indah. Jalan raya yang terletak persis di pinggir pantai menambah suasana petualangan dalam perjalanan. Dan ketika mendekati Tanjung Bira hujan sempat turun dengan lebat, tapi anehnya sekitar 3 KM kemudian hujan langsung hilang dan diganti panas menyengat. Rupanya di daerah Sul-Sel sini cuacanya sering tidak menentu akibat daerahnya yang terletak di tepi pantai.

Sampai di Tanjung Bira kami pun langsung dijamu di tempat kami menginap. Kami menginap di rumah orangtua teman ayah saya yang ternyata adalah tokoh masyarakat setempat. Jamuannya gak tanggung-tanggung, setelah disuguhi roti dan kopi panas, kami disuguhi dengan makan siang ikan laut. Padahal awalnya kami cuma berniat numpang nginap, malah akhirnya dijamu dengan makanan dan minuman yang enak-enak. Hamdalah.

Pantai Tanjung Bira


Setelah kenyang, kami langsung ke pantai dan menyewa kapal untuk snorkeling di pulau seberang, pulau Liukang Lor. Harganya 250 ribu dengan kapasitas kapal 6 orang. Kami pun snorkeling sampai sore dan setelahnya sempat main-main juga di pulau. Kebetulan ada keluarga bule Perancis yang sedang liburan di sana, dan mereka sudah menginap di sana selama 2 minggu. Wow! 2 minggu di pulau terpencil, sensasi yang berbeda mungkin untuk mereka.

Menjelang sunset kami pun kembali ke Tanjung Bira dan stay di sana sampai matahari terbenam. Sayang mataharinya terhalang awan dan tanjung di kejauhan, padahal kalau terlihat mungkin bakal sangat indah sunset-nya. Kami pun pulang, dan langsung disuguhi makan malam. Saat pemilik rumahnya datang, kami diajak mengobrol sampai agak larut. Mulai dari bahasan pekerjaan, kehidupan setelah pensiun, pilgub Sul-Sel, bahkan sampai ke curhatan tentang air yang tidak mengalir di kampungnya. Setelah itu kami beristirahat.

Bersambung ke South Sulawesi Trip #2







No comments:

Post a Comment