23 Jul 2013

Lima Pria, Tiga Motor, Satu Tujuan : Nol Kilometer

Kali ini saya akan berbagi tentang perjalanan saya ke Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah berwacana bersama kawan jurusan saya, Haryanda Eka Putra, yang sama-sama mudik ke Aceh dan setelah survey kecil-kecilan via google, saya memantapkan diri untuk berangkat ke Pulau Weh di H-4 lebaran tahun lalu. Kami pergi dalam rombongan 6 orang, 5 laki-laki dan 1 perempuan (2 adik saya dan 2 adik Putra), dengan menggunakan 3 sepeda motor dari Banda Aceh. Rencana awal sih hanya 2 hari 1 malam di sana, namun pada akhirnya berakhir dengan 3 hari 2 malam, itu pun dengan terancam lebaran di pulau orang (lebih lengkapnya akan saya ceritakan nanti).


Perjalanan dimulai pada tanggal 15 Agustus, kami naik kapal feri dari Pelabuhan Ulee Lheue (baca: Ulee Leu) di Banda Aceh menuju Pelabuhan Balohan di Sabang. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam (dengan menggunakan speedboat hanya 45 menit, biayanya 60 ribu per orang). Selama perjalanan matahari terik menyengat, namun sayangnya saat kami hampir sampai di Pelabuhan Balohan mendadak hujan turun dengan deras. Akhirnya kami menunggu hujan reda dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Kota Sabang (sekitar 10 KM dari Pelabuhan Balohan). Syukurnya kami membawa motor sendiri jadi gak perlu repot-repot sewa mobil ataupun naik labi-labi (sebutan lokal untuk angkot).

Saya kaget sendiri sama jalanan di Pulau Weh, ekspektasi saya jalanan di pulau pasti lebih jelek daripada jalanan di kota besar, tapi ternyata tidak untuk Pulau Weh. Jalanannya mulus banget! Memang sih ada beberapa yang berlubang di dekat pelabuhan, tapi selebihnya jalanan super duper mulus, apalagi jalanan menuju kilometer 0.

Setelah sampai di kota (yang sebenarnya kecil banget ukurannya), kami langsung check in di penginapan yang sudah saya survey sebelumnya, yaitu Pum Losmen. Biayanya cukup murah, hanya 60 ribu per malam (kamar kapasitas 2 orang) dengan kualitas yang menurut saya sangat lumayan dan bersih. Lokasinya juga sangat strategis, di pusat kota, dekat dengan dermaga internasional, pasar, dan pusat jajanan.

Setelah meletakkan barang-barang dan shalat dzuhur kami langsung melanjutkan perjalanan ke pantai-pantai terdekat, yaitu pantai Sumur Tiga dan Anoi Itam. Pantainya benar-benar luar biasa kerennya! Bahkan jika dibandingkan dengan pantai Tanjung Aan di Lombok yang pernah saya kunjungi.

Pantai Anoi Itam. No filter, no effect.
Masih di Pantai Anoi Itam

Selesai foto-foto dan bersantai di pantai Anoi Itam, kami memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan ke tujuan utama, yaitu tugu nol kilometer Indonesia di ujung barat pulau Weh. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih hampir 1,5 jam melewati hutan-hutan dan daerah dengan segerombolan monyet liar yang berkeliaran bebas di tengah jalan.

Dan sampailah kami di tempat itu, tempat dimana setelahnya adalah samudera bebas, titik paling barat Indonesia, titik nol kilometer. Di sana ada tugu nol kilometer yang di puncaknya ada simbol burung garuda mencengkeram angka nol. Tempatnya sangat sangat sepi, hanya ada 1 rombongan turis Jepang yang datang, yah mungkin karena sedang bulan puasa juga.

Tugu nol kilometer
Koordinat kilometer 0 Indonesia


Saya menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak dan meluruskan badan setelah perjalanan. Baru sebentar leyeh-leyeh ternyata ada babi hutan yang datang mendekat. Kaget juga sih, karena baru kali ini saya melihat babi hutan langsung dengan mata kepala sendiri. Kata penduduk setempat yang jaga warung babinya sudah jinak, makanannya pun pisang, sering rebutan sama monyet-monyet yang ada di sekitar tugu.
Bro, si babi hutan penjaga tugu nol KM
Pemandangan samudera di titik ter-barat Indonesia
Waktu semakin mendekati maghrib akhirnya kami memutuskan untuk mencari buka puasa sambil mengunjungi pantai-pantai yang sempat kami lewati saat perjalanan ke tugu nol kilometer. Ada dua pantai terkenal, yaitu pantai Gapang dan Iboih. Dua-duanya sama-sama keren, bersih dan airnya sangat jernih. Sambil menunggu adzan saya sempatkan untuk berendam di pantai sejenak. Oh ya tidak ada uang masuk untuk ke pantai ini, cuma kalau mau ke toilet atau ganti baju kita harus bayar.

Santai sejenak di Pantai Gapang
Akhirnya maghrib pun tiba, FYI maghrib di Aceh waktunya sekitar jam 18.45-an, lebih lambat 46 menit dari Jakarta. Kami pun segera berbuka di warung makan terdekat, cuma indomie sih tapi lumayan untuk mengganjal perut sebelum makan besar.

Tak disangka ketika kami akan kembali ke Sabang, hujan mulai turun dan langsung turun dengan deras. Waduh. Perjalanan masih jauh, jas hujan gak punya, 1 motor remnya agak-agak blong, dan 1 lagi lampu depannya mati. Komplit.

Akhirnya setelah menunggu agak lama hujan pun mereda, kami langsung menerobos gerimis dengan iring-iringan 3 motor, motor yang gak bermasalah berada paling depan, motor yang lampu depannya mati di tengah, dan motor yang remnya agak-agak blong (motor saya) paling belakang. Baru sebentar jalan dan hujan kembali turun dengan deras, kami pun masa bodoh menerobos hujan sambil berharap menemukan desa terdekat sehingga kami bisa berteduh.

Sekitar satu jam berjalan dengan kecepatan pelan kami belum menemukan desa juga. Suasana sekitar sangat gelap, karena di sekitar kami adalah hutan dan tidak ada penerangan sama sekali selain dari lampu motor. Untungnya saat kami melewati daerah dengan gerombolan monyet, sama sekali tidak ada monyet yang keluar. Kalau ada wah bisa tambah berabe lagi karena monyet-monyet ini liarnya bukan main, bahkan saat siang motor saya didekati dan hampir dinaiki monyet-monyet ini.

Hujan masih turun dengan deras saat kami menemukan masjid yang sedang melaksanakan tarawih. Kami pun langsung mengeringkan baju dan shalat maghrib+isya, tidak ikut melaksanakan tarawih karena supaya langsung melanjutkan perjalanan saat hujan mereda. Ternyata sampai shalat tarawih dan witir selesai 23 rakaat hujan pun masih belum berhenti, justru makin deras. Karena kami gak enak dengan penjaga masjid yang akan menutup masjidnya dengan berat hati kami pun melanjutkan sambil hujan-hujanan (lagi).

Alhamdulillah 15 menit kemudian kami sampai di kota, dan di saat bersamaan hujan pun berhenti mendadak. Nasib nasib. Kami pun menutup hari dengan makan martabak panas di kedai bawah losmen.


Hari Kedua
Karena kecapekan setelah perjalanan nonstop kemarin, kami memutuskan untuk menunda kepulangan kami ke Banda Aceh. Hari ini dihabiskan dengan keliling kota Sabang yang kecil ini. Sebenarnya ada satu tempat menarik di Sabang tempat kumpul-kumpul anak muda, namanya Sabang Fair. Yah semacam gasibu lah kalau di Bandung. Tapi karena bulan puasa tempat ini tutup, mungkin karena sepi pengunjung kalau siang-siang. Untungnya taman di sekitar Sabang Fair ini menarik, pemandangannya pun langsung ke arah pantai, pantai Paradiso.
Taman kota di dekat Sabang Fair


Meriam peninggalan Jepang di taman kota

Hari Ketiga
Hari ini tanggal 17 Agustus, di lapangan depan kantor walikota diadakan upacara 17-an yang berlangsung cukup meriah. Dan karena adanya upacara itu, kapal feri yang seharusnya berangkat jam 8 pagi dari pelabuhan Balohan diundur menjadi jam 1. Kami yang keasikan beli oleh-oleh telat berangkat ke pelabuhan, dan saat sampai di pelabuhan kapal feri sudah penuh berisi kendaraan dan orang. Lagi-lagi waduh.

Kalau kita gak bawa motor rasanya gak masalah, karena masih banyak space untuk orang dan masih ada alternatif untuk naik speedboat. Tapi masalahnya kapal yang bisa membawa kendaraan ya hanya kapal feri ini, dan gak mungkin juga ninggalin motor di pulau orang. Dilema juga sih karena kalau gak naik kapal yang ini bisa-bisa malah lebaran di sini. Akhirnya saya menyuruh adik-adik saya untuk naik ke kapal dan saya menunggu motor di jalur antrian waiting list.

Tiga jam menunggu dan untungnya masih ada tempat untuk motor saya dan Putra di kapal. Wah, leganya bukan main! Akhirnya kami pun bisa kembali ke Banda Aceh tanpa harus berlebaran di desa orang.

Peta Sabang yang dibuat oleh Piyoh Design

Fakta Sabang

  • Di sini hanya ada satu pom bensin di kota. Itu pun letaknya di pelosok, masuk ke dalam gang-gang. 
  • Di setiap fotokopi di sini dijual sertifikat bukti kunjungan ke tugu nol kilometer Indonesia seharga 20 ribu yang ditandatangani walikota Sabang langsung. Orang yang tidak ke sana pun sebenarnya bisa beli, jadi tapi rasanya gak afdol kalo punya sertifikat ini tapi belum pernah "bertualang" ke tugu nol kilometernya langsung. 
  • Kuliner yang harus dicoba adalah mie sedap, mie pingsung, sate gurita, mie jalak, dan rujak Klah (semuanya ada di Jalan Perdagangan kecuali rujak Klah).
  • Oleh-oleh yang bisa dibawa pulang : kaos dan merchandise dari Piyoh Design (terletak di jalan Cut Meutia no. 11 Kota Atas, Sabang), salak Sabang, dan bakpia.
  • Di Sabang, tiap jam 14-16 sore kota ini kayak kota mati, toko-toko semuanya tutup dan jalanan sepi dari kendaraan. Kabarnya kebiasaan dari zaman Belanda, siang hari untuk tidur malamnya buat ngepak barang untuk dibawa ke Aceh.
  • Karena Sabang merupakan salah satu daerah terluar Indonesia banyak tentara dan kapal tentara yang hilir mudik di sini. Bahkan Sabang punya pelabuhan internasional sendiri.
  • Banyak spot snorkeling dan diving untuk pecinta selam. Spot yang paling terkenal adalah di sekitar pulau Rubiah dekat pantai Iboih. Surga banget deh pokoknya Sabang ini.

Sertifikit kunjungan ke tugu nol kilometer Indonesia

Jadwal Feri
Jadwal keberangkatan kapal feri Balohan - Ulee Lheue

Tarif tiket kapal feri Balohan - Ulee Lheue

Rincian Pengeluaran (dihitung untuk 3 orang)
15 Agustus
Bensin motor : 14.000
Tiket kapal feri (1 motor+3 orang) : 88.000
Penginapan 2 hari : 160.000
Minuman (2 aqua botol+1 pocari sweat) : 14.000
Ganti pakaian di pantai : 10.000
Cemilan roti : 41.000
Makan malam martabak : 43.000

16 Agustus
Sahur : 36.000
Sertifikat KM 0 : 60.000
Belanja oleh-oleh : 202.000
Makan malam Mie Sedap : 36.000

17 Agustus
Sahur : 26.000
Tiket kapal feri : 83.000 (gak ngerti kenapa bisa beda 5 ribu, mungkin salah hitung abangnya)

Total Pengeluaran
Rp 813.000 (untuk 3 orang) = Rp 271.000 per orang



Jadi, tunggu apa lagi? 
Bo jak piyoh u Sabang (yuk mampir ke Sabang)

4 comments:

  1. Lengkap sekali ceritanya nih... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum nih bro isack, cerita saya cuma pake sarung di losmen gak ikut diceritain. hahaha

      Delete
  2. Jadi inget mesti nginep 2 malem di shelter bts deket pelabuhan karena ngantri kapal feri dari Sabang. Dan ternyata harga nginep di losmen dari 2006 sampe skr ga berubah masih 60rb aja :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah udah pernah ke sana juga teh? Mantap mantap. Kayaknya tiap orang yang ke sana pasti punya pengalaman sama "petualangan"-nya sendiri ya teh, hehe

      Delete